Titik Librasi

Sudah berpuluh-puluh peluh
Sampai-sampai doa menjadi andai
dan aku menjelma kaku

Amin Cukup Serius

Semoga kamu lalai menyakiti diri sendiri
Semoga aku lupa menyakiti diri sendiri
Semoga kamu bahagia selamanya
Semoga aku bahagia selamanya

Kemalaman

Malam ini aku melihat lukaku kembali
Sudah kering, berbekas, tak sakit
Kuraba, lalu kutahu
Aku sudah tidak sama lagi

Peluru dan Waktu


Menjadi manusia ternyata sangatlah sulit. Bekerja, berlari, motivasi harus jadi sahabat sehari-hari. Lelah, lupa, lalai harus jadi sifat melekat diri. Tapi, menjadi manusia ternyata sangatlah mudah. Bernafas, ekskresi, refleks sudah jadi mampu diri. Acuh, tawa, akal sudah jadi jati diri.

Pernahkah kita berpikir tentang kematian dalam kehidupan? Tentang matinya harap dalam ribuan asa yang terbentuk dan hancur bersama kemunculan petaka. Hilang sudah tujuan kita dilahirkan, punah pula semua alasan tuk menghirup hidup. Hanya hak mutlak yang kini dipegang, tak dipertahankan pun tak terlepas. Hal itu jadi penopang kosongnya mimpi dalam hayat. Oh ya, satu lagi terlupa, waktu. Andaikan waktu ikut meregang, maka yang terjadi terjadilah, Kun Fayakun.

Waktu jadi hambatan tuk mati semati-matinya, jadi masa lalu tak terelakkan dan menjadi takdir di masa depan hingga hayat benar-benar lelah. Lelah menunggu sang waktu untuk lelah, meninggalkan semua pekerjaannya seraya berucap "Aku pergi". Dan kita pun terkapar dalam khayalan  tak terhingga, tak hingga, hingga kita sadar betapa amat pilu berpikir akan waktu yang tak kenal sendu. Dan waktu masih akan terus begitu.

Peluru-peluru menusuk-nusuk keakuanku. Besi-besi pembunuh masuk tanpa izin serang titik terdalam diri. Terjatuh enggan tersungkur tak mau, berdiri ogah bangkit tak sudi. Apa maunya?

Peluru itu hancurkan aku, kamu, mereka, semua. Tanpa ampun dia lakukan pada hati-hati tak berpenghuni. Pada asa yang telah pergi dari tuannya. Dia akan terus begitu hingga tak ada lagi waktu yang berkesempatan hinggap pada diri-diri yang hidup di masa lalu yang kini tak berasa.

Peluru dan waktu akan terus begitu. Berhadapan saling membunuh bertautan saling menikam. Mahadaya alam tak pelak hadir dalam pertarungan sengit ini. Datangkan asa yang hilang dan pulangkan pada jiwa kesepian penunggu ajal. Peluru kembali tikam asa, waktu pun kembali kalah. Akan terus begitu hingga keduanya lelah. Meski mati bukan akhir, setidaknya asa telah abadi.









Harian Aku : Equilibrium




Sore, November 2014

Surya. Mata. Binar.
Matahari tampak menunggu gilirannya dengan rembulan. Aku pun menunggu giliranku dengan diam.
 "Giliran untuk apa?" Gumamku dalam hati.
Aku bingung. Selalu bingung. Terus bingung. Membingungkan. Lupakan.

Beraktivitas seperti hari kemarin dan kemarin dari kemarinnya lagi, tetap dengan keceriaan akan indahnya hari esok dan esok dari esoknya lagi. Menjauh dari kemarin dan mendekat pada esok, itulah aku sekarang. Berjalan lalui langkah untuk tapaki langkah baru, itulah aku sekarang. Hari inilah, itulah aku sekarang.

Seperti biasanya, kelas riuh dengan nyanyian kata penghuninya. Aku giat berkutat dengan akuntansi, tak berbeda dengan penghuni kelas lainnya. Pa bagas, dosen kesayangan kami hari ini tidak dapat masuk, tetapi kedatangan beliau tergantikan dengan tugasnya yang amburegul ameseyu bahrelway bahrelway. Nikmati sajalah pikirku.

Sepulang menimba ilmu, aku sempatkan pergi ke kantin. Sekedar membeli bungkusan "Sari Roti" dan Botol "Aqua" lalu pergi dengan sendiri. Meninggalkan apa yang terjadi hari ini, pada diri dan angan. Ini untuk pertama kalinya rasa bersalah mencecar keyakinan. Meski sepenuhnya aku yakin dengan apa yang meyakini keyakinanku. Apa mungkin aku sudah tidak yakin?

Hari ini aku hilang seketika. Merasa hina didepan kekuatan dan merasa juara dalam ketidakberdayaan. Rasa ampun saat ini tak berdaya. Mati ditelan bumi, hilang berbekas bintang, secercah cahaya kecil yang selalu aku coba raih. Hingga sekarang pun tak nampak bintang di tanganku atau bahkan mendekat dalam pandang, justru hilang tak terbilang tak berbilang tanpa bilang-bilang.

Sore kala November membawaku pada satu titik. Titik yang membawaku mendekati equilibrium antara kehidupan dan kematian. Titik yang membawaku pada apa yang harusnya kupandang bukan kukhayal. Titik yang menjadikan ketidakberdayaan menjadi sebuah kekuatan.

Akhirnya, sore ini menjadi lembayung kesedihan.
Akhirnya, sore ini menjadi fajar kebahagiaan.










Right this second

Sang Pencipta. Takdir.  Kita.

Aku bahagia hari itu. Kupasrahkan semua kebahagiaan untuk muncul dengan eloknya. Tak disangka, kaulah penyebabnya, kau penyebab semua bahagia itu. Kau indahkan semua buruk yang timbul, elokkan temaram dalam kelamnya malam. Ya, kaulah aku.

Mungkin kita bertemu tanpa terniat, tapi sadarkah engkau, kita tak pernah dipertemukan untuk tak beralasan. Kita bertemu untuk dan karena Tuhan. Karena ridho dan hendaknya. Tidakkah kau tak yakin?

Aku bersyukur Tuhan berikan alasan dan kesempatan untuk kita bersama. Berbagi semua kebahagiaan dan semua kesedihan, bercerita tentang semua kesenangan dan kesesakkan, berharap untuk masa depan dan kebersamaan. Yakinlah.

Kuperlihatkan semua harapanku untuk engkau. Dengan semua aku, seluruh sifat dan perangaiku.
Percayalah, engkau sangat kupercaya sangat kucinta.

Bulan temukan sinar yang teranginya yang sinarkan seisi bumi. Dan kau hadir bagai sinar yang sinariku. Selama-lamanya sampai Tuhan tahu kapan waktunya semua itu tuk berhenti.

I never loved you any more than I do, right this second. And I’ll never love you any less than I do, right this second

"Karena untuk bersamaku kau tak perlu bermimpi"





Harian Aku : Prolog




Pagi ini tak biasanya aku pergi tinggalkan mimpi dengan kesadaran yang cepat. Aku bangun lebih awal dari biasanya. Entah mengapa kejenuhan akan mimpi semakin menjadi, seakan kenyataan lebih menggiur menyapa menyentuh dalam diri. Mungkin aku bosan dengan keindahan mimpi atau bosan akan kenyataan didalamnya atau sadar bahwa mimpi itu adalah kenyataan. Berusaha meyakinkan hati bahwa pikiran ini lelah sungguh melelahkan. Aku tak bohong.

Pukul 7 kusongsong. Kini teh hangat hadir temani biskuit yang temaniku. Duduk di teras depan pikirku pilihan cocok. Menatap hangatnya surya dan rasakan syukurnya. Hal ini jarang bagiku terasa karena biasanya aku mati di pagi hari dan hidup setelahnya. Aneh rasanya melihat orang-orang menyapa dengan training outfit yang dipakainya sembari sesekali membasuh keringat dengan kain lembut di pundaknya. Sungguh aku lupa kapan terakhir kalinya aku seperti mereka. Sudah lama aku tidak bepergian untuk sekedar lari pagi atau berjalan ke taman depan komplek itu. Ah ini mungkin waktunya aku pecahkan "rekor"-ku itu.

Hari ini liburan rutin tiap minggu dimulai dan aku memulainya dengan olahraga pagi. Semua sudah kusiapkan termasuk raga yang akan terolah nanti. Tak lupa, sebotol susu coklat cair kubawa sebagai pengisi kelelahan. Oke, Aku Siap!

Hari itu, saat dimana ragaku dilatih dan pikirku diuji. Tugas kehidupan kembali mendatangi, membawa tantangan dan gundah di hati. Ah, Sejenak kupikir malas merajai, namun setelahnya semangat jadi pimpinan diri. Toh pada akhirnya manfaat akan merasuk hati dan tercermin dalam pribadi.

Inilah aku dengan cerita sehari-hari. Mencoba mencari dan terus mencari. Semoga Tuhan ridhoi. Tak ada alasan untuk tidak mulai. Jadi, ini waktunya untuk kembali. Rasakan perjuangan nadi dan kegigihan sanubari. Diam untuk mengerti, Kata untuk lebih mengerti dan Aksi untuk lebih dari sekedar mengerti.

 Hidup Bermanfaat, Mati Menginspirasi. Apalagi?